BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Appendiks (Umbai cacing) mulai dari caecum (Usus Buntu) dan lumen appendiks ini bermuara ke dalam caecum dinding appendiksmengandung banyak folikel getah bening biasanya appendiks terletak padailiaca kanan di belakang caecum (Henderson ; 1992)
Appendiks dapat mengalami keradangan pembentukan mukokel,tempat parasit, tumor benigna atau maligna dapat mengalami trauma, pembentukan pistula interna atau eksterna, kelainan kongenital korpus ileumdan kelaina yang lain. Khusus untuk appendiks terdapat cara prevensi yanghanya mengurangi morbilitas dan mortalitas sebelum menjadi perforasi ataugangren (FKUA ; 1989)
Tindakan pengobatan terhadap appendiks dapat dilakukan dengan cara operasi (pembedahan). Pada operasi appendiks dikeluarkan dengan caraappendiktomy yang merupakan suatu tindakan pembedahan membuang appendiks ( Puruhito ; 1993).
Adapun permasalahan yang mungkin timbul setelah dilakukan tindakan pembedahan antara lain : nyeri, keterbatasan aktivitas, gangguankeseimbangan cairan dan elektrolit, kecemasan potensial terjadinya infeksi(Ingnatavicus; 1991).
Dengan demikian peranan perawat dalam mengatasi danmenanggulangi hal tersebut sangatlah penting dan dibutuhkan terutama
Perawatan yang mencakup empat aspek diantaranya : promotif yaitu memberikan penyuluhan tentang menjaga kesehatan dirinya dan menjagakebersihan diri serta lingkungannya. Upaya kuratif yaitu memberikan perawatan luka operasi secara aseptik untuk mencegah terjadinya infeksi dan mengadakan kaloborasi dengan profesi lain secara mandiri. Upaya rehabilitatif yaitu memberikan pengetahuan atau penyuluhan kepada penderita dan keluarganya mengenai pentingnya mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi kalori dantinggi protein guna mempercepat proses penyembuhan penyakitnya serta perawatan dirumah setelah penderita pulang.
Appendiksitis atau radang apendiks akut merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan pada Negara berkembang jumlahnya lebih sedikit, hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada masyarakat modern (perkotaan) bilang dibandingkan dengan masyarakat desa yang cukup banyak mengkonsumsi serat. Appendiksitis dapat menyerang orang dalam berbagai umur, umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 40 tahun, khususnya antara 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2tahun.
Apendiksitis akut adalah keadaan yang sering memerlukan tindakan emergensi pada anak. Kesulitan dalam membedakan diagnosis apendisitis akut dengan penyebab nyeri abdomen yang lain dapat menyebabkan apendisitis perforasi, sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Risiko perforasi paling banyak pada usia 1 – 4 tahun yaitu 70 – 75 % dan 30 – 40% pada umur remaja. Lima puluh persen anak dengan apendisitis perforasi tampak pada saat pasien datang
sebelum diagnosis ditegakkan. Di Amerika kasus apendisitis didapatkan pada 4:10000 pada anak umur dibawah 14 tahun dan lebih dari 80.000 kasus dalam setahun.
Pada penelitian multietnik pada 53.555 kasus apendisitis anak yang dilakukan di Amerika, didapatkan hasil 63,5% apendisitis perforasi dan 36,5% apendiksitis simpel1, 2, 3.
Apendiksitis akut adalah infeksi bakterial pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah keadaan akut abdomen yang memerlukan pembedahan segera. Di Indonesia ada penurunan jumlah kasus dari 100 kasus menjadi 52 kasus setiap 100 ribu penduduk dari tahun 1991 – 2000. Terdapat 15 – 30 persen (30 – 45 persen pada wanita) gambaran histopatologi yang normal pada hasil appendiktomi.
Keadaan ini menambah komplikasi pasca operasi, seperti adhesi, konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan produktivitas. Tingkat akurasi diagnosis apendisitis akut berkisar 76 – 92 persen. Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan), adalah dalam usaha meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis akut. Beberapa pemeriksaan laboratorium
dasar masih banyak digunakan dalam diagnosis penunjang apendisitis akut. C-reactive protein (CRP), jumlah sel leukosit, dan hitung jenis se neutrofil (diferential count) adalah petanda yang sensitif proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di daerah. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4 – 6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, yang dapat dilihat dengan melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah.
Sampai saat ini pemeriksaan klinis adalah yang utama dalam menentukan diagnosis apendiksitis akut pada anak, sedangkan pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang dalam menegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan Mencari atas nilai leukosit yang membedakan apakah suatu apendisitis akut masih simpel atau sudah mengalami komplikasi (perforasi). Manfaat penelitian adalah dapat memperkirakan keadaan apendiks sebelum operasi sehingga dapat memberikan informed consent yang benar dan jelas kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, tindakan yang akan dilakukan, dan kemungkinan prognosisnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambtan penanganan apendisitis akut yang berakibat timbulnya komplikasi dapat berasal dari pasien dan tenaga medis. Faktor pasien meliputi pengetahuan dan biaya. Faktor tenaga medis meliputi kesalahan diagnosis, menunda diagnosis, terlambat merujuk ke Rumah Sakit, dan menunda tindakan bedah (Virginia A, 2000).
Tingkat akurasi diagnosis apendiksitis akut pada beberapa penelitian berkisar 76 – 92%. Keterlambatan diagnosis dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Ada sekitar 11,2 – 30% keterlambatan diagnosis ini berakibat perforasi intestinal. Disisi lain masih ditemukan 15 – 30% (30 – 45% pada wanita) gambaran histopatologi yang normal pada hasil apendektomi. Keadaan ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi beban sisi ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan produktivitas.(Kim-Choy Ng, Shih, 2002).
Usaha meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis akut dan mencegah tindakan intervensi bedah yang tidak diperlukan, merupakan masalah yang aktual dan sering diperdebatkan. Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan CT-scan, adalah dalam usaha meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis akut. Pendekatan diagnosis seperti masih sulit dilaksanakan pada Rumah Sakit di daerah.(Kim-Choy Ng, Shih, 2002- Ayman A et al, 2003).
Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut. C-reactive protein (CRP), jumlah sel leukosit, dan hitung jenis sel neutrofil (diferential count) adalah petanda yang sensitif proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di daerah. Petanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CRP telah secara luas digunakan di negara maju (Kim-Choy Ng, Shih, 2002).
Protein yang terlibat dalam respon fase akut ini disebut fase akut protein (acute phase protein). CRP merupakan salah satu komponen fase akut protein yang akan meningkat 4 – 6 jam (kepustakaan lain 6 – 12 jam) setelah terjadinya proses inflamasi, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan elektroforesis serum protein (Richard Ravel, 1999).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah mendapatkan materi tentang Asuhan Keperawatan pada pasien Appendiksitis:
1. Memperoleh gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan pada pasien appendiksitis.
1.2.2 Tujuan Khusus
Setelah mendapatkan materi tentang Asuhan Keperawatan pada pasien Appendiksitis:
1. Mahasiswa mampu memahami tentang definisi appendiksitis
2. Mahasiswa mampu memahami tentang etiologi appendiksitis
3. Mahasiswa mampu memahami tentang manifestasi klinis appendiksitis
4. Mahasiswa mampu memahami tentang anatomi fisiologi appendiksitis
5. Mahasiswa mampu memahami tentang patofisiologi appendiksitis
6. Mahasiswa mampu memahami tentang pencegahan appendiksitis
7. Mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan appendiksitis
8. Mahasiswa mampu memahami tentang komplikasi appendiksitis
9. Mahasiswa mampu memahami tentang pemeriksaan diagnostik appendiksitis
10. Mahasiswa mampu memahami tentang patoflow appendiksitis
11. Mahasiswa mampu memahami tentang konsep asuhan keperawatan appendiksitis secara teoritis (pengkajian, diagnose, intervensi)
1.3 Manfaat
1. Asuhan keperawatan akan memberikan wawasan yang luas mengenai masalah keperawatan pada apendiksitis
2. Asuhan keperawatan akan memeberikan wawasan keperawatan dalam memeberikan asuhan keperawatan yang benar tentang maslah klien post apendiksitis
.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Penyakit
2.1.1 Pengertian
Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu (apendiks). Usus buntu merupakan penonjolan kecil yang berbentuk seperti jari, yang terdapat di usus besar, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus halus. Usus buntu mungkin memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, tapi bukan merupakan organ yang penting (Brunner & Suddarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan akibiat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bias mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bias pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak diperut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengelurkan lender (Harnawati, 2008).
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawatt, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Corwin, 2001).
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Embriologi appendiks berhubungan dengan caecum, tumbuh dari ujunginferiornya. Tonjolan appendiks pada neonatus berbentuk kerucut yang menonjol pada apek caecum sepanjang 4,5 cm. Pada orang dewasa panjang appendiks rata-rata 9 – 10 cm, terletak posteromedial caecum kira-kira 3 cm inferior valvulaileosekalis. Posisi appendiks bisa retrosekal, retroileal,subileal atau dipelvis,memberikan gambaran klinis yang tidak sama. Persarafan para simpatis berasaldari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteriappendikkularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis x,karena itu nyeri viseral pada appendiks bermula sekitar umbilikus. Perdarahan pada appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan artei tanpakolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya trombosis pada infeksi makaappendiks akan mengalami gangren.
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basamengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normaldicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologiappendiks.Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (GutAssociated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cernatermasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh.( R.Syamsu ; 1997)
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas dua yakni:
· Apendisitis akut
Terdiri atas: apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul struktur local. Apendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
· Apendisitis kronis
Dibagi atas: apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul struktur local apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
2.1.4 Etiologi
Penyebab apendisitis belum sepenuhnya dimengerti. Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi usus buntu mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, usus buntu bias pecah.
Usus buntu yang pecah bias menyebabkan:
· Masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis yang bias berakibat fatal
· Terbentuknya abses
· Pada wanita, indung telur dan salurannya bias terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada saluran yang bias menyebabkan kemandulan
· Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septicemia), yang bias berakibat fatal
2.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari apendiks meliputi:
· Anoreksia
· Nyeri difus yang timbul mendadak di daerah epigastrium atau periumbilikus
· Dalam beberapa jam, nyeri menjadi lebih terlokalisasi dan dapat dijleaskan sebagai nyeri tekan di daerah kuadran kanan bawah
· Nyeri lepas (nyeri yang timbul sewaktu tekanan di hilangkan dari bagian yang sakit)
· Demam
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bias secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau disekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bias bertambah tajam.
Demam biasa mencapai 37,8-38,8 derajat celcius. Pada bayi dan anak-anak, nyeinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlaluberat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bias menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bias menyebabkan syok.
2.1.6 Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekalit (masa keras dari feses), tumor atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya ependiks terinflamasi berisi pus.
Penyebab utama appendiksitis adalah obstuksi penyumbatan yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari polikel lympoid merupakan penyebab terbanyak adanya fekalit dalam lumen appendik. Adanya benda asing seperti : cacing,striktur karenan fibrosis akibat adanya peradangan sebelunnya.Sebab lain misalnya: keganasan ( Karsinoma Karsinoid )
Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.
Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat.Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis.
2.1.7 Pencegahan
Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya gangren,perforasi dan peritonitis
2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik
1. Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah:
· Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
· Muntah oleh karena nyeri viseral.
· Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
· Badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
2. Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney.
3. Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi. Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan adalah infeksi, perforasi, abses intra abdominal/pelvis, sepsis, syok, dehisensi. Perforasi yang ditemukan baik perforasi bebas maupaun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan, sehingga membentuk massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
2.1.11 Penatalaksanaan Medis
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya rupture (pecah), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis)
Pada hamper 15% pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Usus buntu yang terinfeksi bias pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul. Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, usus buntu tetap diangkat. Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang sebenarnya.
Pembedahan yang segera dilakukan bias mengurangi angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Usus buntu yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus yang rupture sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotic, angka kematian mendekati nol.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis
2.2.1 Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: malise
b. Sirkulasi
Tanda: takikardia
c. Eliminasi
Gejala: konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
Tanda: distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
d. Makanan/cairan
Gejala: anoreksia dan mual/muntah
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri abdomen sekitar epifastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik McBurney (setengah jarak antara umbilicus dan tulang ilium kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks)
Tanda: perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau terlentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak, nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.
f. Pemeriksaan fisik
· B1 (Breathing) : Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
Respirasi:Takipnoe,pernapasandangkal.
· B2 (Blood):Sirkulasi : Klien mungkin takikardia
· B3 (Brain) : Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang.
· B4 (Bladder) : . Data psikologis Klien nampak gelisah –
· B5 (Bowel) : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus. Nyeri/kenyamanan nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney. Berat badan sebagai indikator untuk menentukan pemberian obat. Aktivitas/istirahat : Malaise. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal dan kadang-kadang terjadi diare
· B6 (Bone) : Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
g. Keamanan
Tanda: demam (biasanya rendah)
h. Pernapasan
Tanda: takipnea, pernapasan dangkal
i. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh pielitis akut, batu uretra, salpingitis akut, ileitis regional. Dapat terjadi pada berbagai usia.
Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 4,2 hari
2.2.2 Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi.
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi yang ditandai dengan anxietas.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi behubungan dengan perforasi pada Apendiks dan tidak adekuatnya pertahanan utama..
4. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual muntah.
2.2.3 Intervensi
1. Diganosa : Nyeri berhubungan dengan anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi.
| |
Tujuan : mengurangi rasa nyri pada klien
| |
Kriteria hasil: Pasien tampak rileks mampu tidur/ istirahat dengan tepat.
| |
Intervensi
|
Rasional
|
1. Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis,
2. Berikan aktivitas hiburan Focus perhatian kembali.
3. Berikan anlgesik sesuai indikasi. Analgesic.
4. Berikan kantong es pada abdomen ujung saraf.
|
1. menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang (supine)
2. meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
3. dapat menghilangkan nyeri yang diderita pasien
4. Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa
|
2. Diagnosa: Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual muntah.
| |
Tujuan: memenuhi kebutuhan cairan klien
| |
Kriteria hasil: Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban membrane mukosa, turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil, dan secara individual haluaran urine adekuat.
| |
Intervensi
|
Rasional
|
1. Awasi TD dan nadi
2. Lihat membrane mukosa, kaji turgor ulit dan pengisian kapiler
3. Awasi masuk dan haluaran, catat warna urine, konsentrasi, berat jenis.
4. Auskultasi bising usus. Cata kelancaran flatus, gerakan usus.
5. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan oral dimulai dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.
6. Pertahankan penghisapan gaster/usus
7. Beriakn cairan IV dan elektrolit
|
1. Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.
2. Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
3. Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi cairan.
4. Indikator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per oral.
5. Menurunkan muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.
6. Dekompresi usus, meningkatnya istirahat usus, mencegah muntah
7. Peritonium bereaksiterhadap infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.
|
3. Diagnosa: Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan dengan perforasi pada Apendiks dan tidak adekuatnya pertahanan utama
| |
Tujuan: Meminimalkan proses penyebaran infeksi dan metastase ke organ lain
| |
Kriteria hasil: Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi atau inflamasi
| |
Intervensi
|
Rasional
|
1. Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
2. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatn luka aseptic. Berika perawatan paripurna.
3. Lihan insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka, adanya eritema.
4. Beriakn informasi yang tepat dan jujur pada pasien
5. Ambil contoh drainage bila diindikasikan.
6. Berikan antibiotic sesuai indikasi
|
1. Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
2. Menurunkan resiko penyebaran bakteri.
3. Memberikan deteksi dini terjainya proses infeksi, dan atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
4. Penetahuan tenteng kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan anxietas.
5. Kultur pewarnaan gram dan sensitifias berguna untuk mengidentifikasi organism penyebab dan pilihan terapi.
6. Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah organism (pada innfeksi yang telah ada sebelumnya) utuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen
|
4. Diagnosa: Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual muntah.
| |
Tujuan: memenuhi kebutuhan cairan klien
| |
Kriteria hasil: Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban membrane mukosa, turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil, dan secara individual haluaran urine adekuat.
| |
Intervensi
|
Rasional
|
8. Awasi TD dan nadi
9. Lihat membrane mukosa, kaji turgor ulit dan pengisian kapiler
10. Awasi masuk dan haluaran, catat warna urine, konsentrasi, berat jenis.
11. Auskultasi bising usus. Cata kelancaran flatus, gerakan usus.
12. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan oral dimulai dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi.
13. Pertahankan penghisapan gaster/usus
14. Beriakn cairan IV dan elektrolit
|
8. Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.
9. Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
10. Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi cairan.
11. Indikator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per oral.
12. Menurunkan muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.
13. Dekompresi usus, meningkatnya istirahat usus, mencegah muntah
14. Peritonium bereaksiterhadap infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.
|
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu (apendiks). Usus buntu merupakan penonjolan kecil yang berbentuk seperti jari, yang terdapat di usus besar, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus halus. Usus buntu mungkin memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, tapi bukan merupakan organ yang penting
Apendisitis terbagi atas dua yakni: Apendisitis akut, terdiri atas: apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul struktur local. Apendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah. Dan Apendisitis kronis Dibagi atas: apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul struktur local apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
3.2 SARAN
Pencegahan pada appendiksitis yaitu dengan menurunkan resiko obstuksi dan peradangan pada lumen appendiks. Pola eliminasi klien harus dikaji,sebab obstruksi oleh fekalit dapat terjadi karena tidak ada kuatnya diit tinggi serat.Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga menimbulkan resiko. Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda appendiksitis menurunkan resiko terjadinya gangren,perforasi dan peritonitis
BAB I
KONSEP DASAR ASKEP
1.1 Pengkajian Keperawatan
a.Identitas
1. Nama : An.G
2. Umur : 7 tahun
3. JenisKelamin : laki-laki
4. Status ekonomi : sering terjadi keadaan nutrisi yang buruk, karena factor ekonomi.
5. Lingkungan tempattinggal yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan menunjang juga terjadinya penyakit ini.
b. Riwayat Keperawatan
1. Keluhan Utama.
Kejang-kejang dapat disertai dengan penurunan kesadaran,tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (kaku kuduk).
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Anak menjadi lesu atau terjadi kelemahan secara umum, nyeri ekstremitas, mudah terangsang/irritable, demam (39°- 41°C), nafsu makan menurun, muntah-muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, pucat, gelisah,
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Anak pernah menderita penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus influenza, varisella,adenovirus, coxsachie, echovirus atau parainfluenza, infeksibakteri, parasitsatusel, cacing, fungus, riketsia.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga ada yang menderita penyakit yang dapat menular kepada anak.
c. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Terjadi perubahan dalam kebiasaan atau jenis makanan yang diberikan akibat dari kondisi penyakitnya
2. Pola Eliminasi
Terjadi perubahan dari karakteristik faeses dan urine (warna ,konsistensi, bau), dapat terjadi inkontinensia atau retensi dari urin atau alvi, nyeri tekan abdomen.
3. Pola Tidur dan Istirahat
Anak menjadi mudah terangsang/irritable, terjadi kejang spastik, penurunan kesadaran (apatis- koma).
4. Pola Aktivitas
Dapat ditemukan gerakan-gerakan yang involunter, hipotonia, keterbatasan dalam rentang gerak, ataksia, kelumpuhan, masalah dalam hal berjalan atau keterbatsan akibat dari kondisi penyakitnya.
d. Pemeriksaan
a.Pemeriksaan Umum
Suhu tubuh : 104 –105 oF, Malaise, kejang, penurunan kesadaran.
b.Pemeriksaan Fisik
1. Kepala Leher
• Nyeri Kepala
• Kaku Kuduk
• Hemiperesis
• hemiplegia
2. Dada
• Tarikan Intercoste
• Irama nafas takteratur
3. Ektermitas
• Kejang
• Ataksia
e. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan serologis :Ujifiksasi, komplemen, ujiinhibisi, hemaglobinasi, dan ujineotralisasi
• EEG
1.2 Analisa Data
No
|
Data
|
Etiologi
|
MK
|
1.
|
DS : -
DO :
Kliennampaklemahdantidaksadar
GCS : E.3 M.3 V.1 = 7
N : 85x/mnt
RR : 22x/mnt
S : 36,5°c
|
Peningkatantekananintrakranial
|
Gangguanperfusijaringan
|
2
|
DS:
keluargamengatakanklienseringmengeluhsakitpadakepala
DO :
klien Nampak tidakbisatidur
|
iritasipadalapisanotak
|
Nyeri
|
3
4
|
DS : -
DO :
klien Nampak kejangdantidaksadarkandiri
DS :-
DO:
Kliennampaklemahdanlesu
GCS : E.3 M.3 V.1 = 7
N : 70x/mnt
RR : 20x/mnt
S : 37,5°C
|
kejang, perubahan status mental dan penurunan tingka tkesadaran
dayatahantubuhterhadapinfeksiturun
|
Resiko injuri
Resikotinggiinfeksi
|
1.3 DiagnosaKeperawatan
I. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Nyeri berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
3. .Resiko injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran
4. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun
1.4 Intervensi Keperawatan
No. Dx
|
Jam/tgl
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
Paraf
|
1.
|
07:00/1004-2012
|
-Pasien kembali pada keadaan status neurologis sebelum sakit,
Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsisensoris
|
- Anjurkan pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal
- Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS
|
- Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya herniasiotak
-Dapat
mengurangi kerusakan otak lebih lanjut
| |
2.
|
08:00 /11-04-2012
|
Pasien terlihat rasa sakitnya berkurang / rasa sakit terkontrol
|
- Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
- Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati
|
- Menurunkan reaksi terhadap rangsangan ekternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan pasien untuk beristirahat
- Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit / discomfort
| |
3.
4.
|
07:00/ 13-04-2012
07:00/ 15-04-2012
|
- Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
- Tidak terjadi infeksi
|
- Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya
- Kolaborasi:
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.
- Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien
- Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau pengunjung. Pantau dan batasi pengunjung.
- Abs. suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.
-Berikan antibiotic kasesuai indikasi
|
- Gambaran tribalitas system saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
- Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi
- Melindungi pasien bila kejang terjadi
- Menciptakan lingkungan yang bersih dan tenang
- Untuk mencegah meningkatnya suhu tubuh
- Untuk mengurangi suhu tubuh
|
1.5 Implementasi Keperawatan
No
|
Diagnosa
|
Jam/tanggal
|
Implementasi
|
Respon Hasil
|
Paraf
|
1.
|
I. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
|
08:00/21-04-2012
|
1.Anjurkan pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal
2. Memonitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS
|
1.klien Nampak lebih libih tenang
2. Suhu tubuh pasien menurun | |
2.
|
2. Nyeri berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
|
07:00/23-04-2012
|
1.Mengusahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
2.Melakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati
|
1.pasien tampak tenang
2.klien tampak dapat melakukaan gerakan
| |
3.
|
3. .Resiko injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran
|
08:00/25-04-2012
|
1.Menonitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya.
2. Mengkolaborasi:Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.
3. Mempersiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien.
|
1.Kejang pasien tampak berkurang
2.Klien tampak lebih sadar
3.klien tidak akan jatuh dari ranjang dan merasa lebih aman
| |
4.
|
4. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun
|
07:00/26-04-2012
|
1.Mempertahankan teknik aseptic dan teknik cuci tangan, yang tepat baik petugas atau pengunjung. Pantau dan batasi pengunjung.
2.mengabs suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.
3.Berikan antibiotic kasesuai indikasi
|
1. Klien tampak lebih tenang,nyaman dan suhu tubuh menurun
2.Suhu tubuh klien menurun
3.Klien tidak merasakn panas(suhu tubuh) lagi
|
DX:1
S:.Klien mengatakan sudah lebih baik dari sebelumnya
O: klien tampak tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat
A: Intervensi tercapai sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
DX:2
S: Pasien terlihat rasa sakitnya berkurang / rasa sakit terkontrol
O: Pasien dapat tidur dengan tenang
A:Intervensi tercapai
P:-
DX:3
S: Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
O: Pasien tampak tidak kejang lagi
A:Intervensi tercapai sebagian
P:Intervensi dilanjutkan
DX:4
S: Klien mengatakan suhu tubuh nya tidak panas lagi
O:Klien tampak lebih tenang,nyaman dan suhu tubuh menurun
A:Intervensi tercapai
P:-
DAFTAR PUSTAKA
Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas Kedokteran
UNAIR Surabaya, 1998
Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk (2000). Kapita Selektaa Kedokteran Edisi 3 Jilid 2.Jakarta : Media Aesculapius
.
Doegoes, Marilynn E, dkk (1999). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta : EGC.
Tucker, Susan Martinm, dkk (1998). Standar Perawatan Pasien, Volume 3. Jakarta : EGC.
Resti infeksi
|
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
Nyeri
|
Defisit voleme cairan
|
Gang. Keb. nutrisi
|
Gang. Keb. nutrisi
|
Gang. Keb. nutrisi
|
Gang. Keb. nutrisi
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar