BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan
klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan
nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang
sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau
perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan
perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis. Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan
komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari
organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi
kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum
resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi
yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya
benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya peritonitis. Keputusan
untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan
akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
anatomi dari organ peritoneum ?
2. Apa definisi peritonitis ?
3. Bagaimana etiologi pada peritonitis ?
4. Bagaimana klasifikasi dari peritonitis ?
5. Bagaimana patofisiologi dari peritonitis ?
6. Bagaimana manifestasi Klinis pada peritonitis
?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada
peritonitis ?
8. Bagaimana
penatalaksanaaan pada peritonitis ?
9. Bagaimana
komplikasi pada peritonitis ?
10. Bagaimana
asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis?
1.3
Tujuan
1.3.1
tujuan umum
1. Mengetahui anatomi dari organ peritoneum.
2. Mengetahui definisi peritonitis.
3. Mengetahui etiologi peritonitis.
4. Mengetahui klasifikasi dari peritonitis.
5. Mengetahui patofisiologi dari peritonitis.
6. Mengetahui manifestasi Klinis pada peritonitis.
7. Mengetahui pemeriksaan diagnostic pada
peritonitis.
8. Mengetahui penatalaksanaaan pada peritonitis.
9. Mengetahui komplikasi pada peritonitis.
10.
Mendiskusikan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis.
1.4
Manfaat
1. Memahami anatomi
dari organ peritoneum.
2. Memahami definisi
peritonitis.
3. Memahami etiologi
peritonitis.
4. Memahami klasifikasi
dari peritonitis.
5. Memahami
patofisiologi dari peritonitis.
6. Memahami manifestasi
Klinis pada peritonitis.
7. Memahami pemeriksaan
diagnostic pada peritonitis.
8. Memahami
penatalaksanaaan pada peritonitis.
9. Memahami komplikasi
pada peritonitis.
10 .Menyimpulkan asuhan
keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
peritonitis.
BAB
II
KONSEP MEDIS
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM
PENCERNAAN
Sistem pencernaan atau sistem
gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah
sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam
aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau
merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut,
tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan
anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang
terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung
empedu.
Gambar Sistem Pencernaan
A.
Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang
berakhir di anus.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari
mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan
dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan
relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari
berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah
dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan
tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga
mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan
menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan
berlanjut secara otomatis.
Gbr 2 : Anatomi Mulut
B.
Tenggorokan
( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari
bahasa yunani yaitu Pharynk.
Didalam
lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang
rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang
Keatas
bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang
bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan
lubang yang disebut ismus fausium
Tekak terdiri
dari; Bagian superior =bagian yang sangat tinggi dengan hidung, bagian media =
bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior = bagian yang sama
tinggi dengan laring.
Bagian
superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan
tekak dengan ruang gendang telinga,Bagian media disebut orofaring,bagian ini
berbatas kedepan sampai diakar lidah bagian inferior disebut laring gofaring
yang menghubungkan orofaring dengan laring
C. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube)
berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esofagus(dari bahasa Yunani: οiσω, oeso - "membawa", dan έφαγον, phagus - "memakan").
Esofagus dibagi menjadi tiga
bagian:
serta bagian inferior (terutama
terdiri dari otot halus).
D. Lambung
Merupakan organ otot berongga
yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai.
Terdiri dari 3 bagian yaitu
Kardia.
Fundus.
Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk
cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur
makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat
penting :
- Lendir
Lendir
melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan
pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada
terbentuknya tukak lambung.
- Asam klorida (HCl)
Asam klorida
menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah
protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap
infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
- Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
Gambar Anatomi Lambung
E. Usus
halus (usus kecil)
Usus halus atau usus
kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding
usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati
melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan
air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding
usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan
lemak.
Lapisan usus
halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot
melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan
serosa ( Sebelah Luar )
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum),
dan usus penyerapan (ileum).
1. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum
adalah bagian dari usus
halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus
halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan
organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa
Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke
dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus
halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah
yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan
sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
2. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum)
adalah bagian kedua dari usus
halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa,
panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong
berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan
dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar
Brunner. Secara hitologis pula dapat
dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit
untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti "lapar"
dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus,
yang berarti "kosong"
3. Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki
panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan
garam-garam empedu.
F. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
- Kolon asendens (kanan)
- Kolon transversum
- Kolon desendens (kiri)
- Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti
vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit
serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus
besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir
dan air, dan terjadilah diare.
G. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa
Latin: caecus,
"buta") dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian
kolon menanjak dari usus besar. Organ ini
ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki
sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif
memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
H. Umbai
Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks
adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan
apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis
(infeksi rongga abdomen).
Dalam anatomi
manusia, umbai cacing atau dalam bahasa
Inggris, vermiform appendix
(atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.
Umbai cacing terbentuk dari
caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10
cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu
tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda - bisa di retrocaecal atau
di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
Banyak orang percaya umbai
cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem
limfatik.
Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendektomi.
I. Rektum
dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere,
"meluruskan, mengatur") adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung
usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena
tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika
kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan
untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi
tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana
penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi
tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih
tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.
Anus merupakan lubang di ujung saluran
pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan
dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air
besar - BAB), yang merupakan fungsi utama anus.
J. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang
memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta
beberapa hormon penting
seperti insulin. Pankreas
terletak pada bagian posterior perut dan
berhubungan erat dengan duodenum (usus dua
belas jari).
Pankraes terdiri dari 2 jaringan
dasar yaitu :
- Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
- Pulau pankreas, menghasilkan hormon
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan
hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna
protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam
bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif.
Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas
juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum
dengan cara menetralkan asam lambung.
K. Hati
Hati
merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki
berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan
memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang
penting dalam pencernaan. Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya
dimulai dalam hepat- atau hepatik dari kata Yunani untuk hati,
hepar.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan
pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke
dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk
ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh
kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah.
Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah
diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum.
L. Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap -
bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang
dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.
Empedu
memiliki 2 fungsi penting yaitu:
Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan
kolesterol.
2.2
DEFINISI
PERITONITIS
Peritonitis
adalah suatu peradangan dan peritoneum, pada membrane serosa, pada bagian
rongga perut. Peritonitis adalah inflamasi peritoneum - lapisan membrane serosa rongga abdomen dan
meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk
akut maupun kronik/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda-tanda umum inflamasi. Peritonitis
adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga
perut (peritoneum) lapisan membrane serosarongga abdomen dan dinding perut
bagian dalam.
Peritonitis
adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel dan pus,
biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen,
konstipasi, muntah dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada peritoneum.
Peritoneum
adalah membrane serosa rangkap yang terbesar didalam tubuh. Peritoneum terdiri
atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal dan peritoneum visceral, yang
berfungsi menutupi sebagian besar dari organ-organ abdomen dan pelvis,
membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling bergeser tanpa
ada penggesekan. Organ-organ
digabungkan bersama dan menjaga kedudukan mereka tetap, dan mempertahankan
hubungan perbandingan organ-organ terhadap dinding posterior abdomen. Sejumlah
besar kelenjar limfe dan pembuluh darah yang termuat dalam peritoneum, membantu
melindunginya terhadap infeksi.
Peritonitis
adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan pembungkus
visera dalam rongga perut.
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel
mesoepitelial diatas dasar
fibroelastik. Terbagi menjadi bagian visceral, yang menutupi usus dan
mesenterium, dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan
dengan fasia muskularis. Peritoneum viselare yang menyelimuti organ perut
dipersyarafi oleh system syaraf otonom dan tidak peka terhadap rabaan atau
pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahita pada usus dapat dilakukan
tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan
organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan
ischemia misalnya pada colic atau radang seperti appendicitis maka akan timbul
nyeri. Pasien yang merasakan nyeri visceral biasanya tidak dapat menunjukan
dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak
tangannya dengan menunjuk daerah yang nyeri.
Peritoneum
perietale, dipersyarafi oleh syaraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena
adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan atau proses radang. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk atau atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat
lokasi nyeri.
Area permukaan
total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membrane
semi permeable. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah.
Organ-organ yang terdapat dicavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesia fellea,
lien, ileum jejunum, kolon transfersum, kolom sigmoid, sekum dan appendix
(intra peritoneum), pancreas,duodenum, kolon ascenden, desenden, ginjal dan
ureter (retroperitoneum)
ANATOMI
Dinding perut
mengandung struktur musulo-apponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang
struktur ini melekat pada tulang belakangsebelah atas pada iga, dan dibagian
bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis baik
yaitu dari luar kedalam. Lapisan kulit yang terdiri dari kutus dan subkutis,
lemak subkutan dan facies superficial (facies scapa), kemudian ketiga otot
dinding perut m. obliquus
abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum
abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia
transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah
terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis
tengah dipisahkan oleh linea alba.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron.
Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan
ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi
peritonium.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3,
yaitu:
1.
Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina
visceralis (tunika serosa).
2.
Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut
lamina parietalis.
3.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan
lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan
kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut
duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu
duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan
dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus
yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale
dan mesenterium dorsale. Mesenterium vebtrale yang terdapat pada sebelah kaudal
pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium
ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium
setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale.
Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami
pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan
saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus
omphaloentericus.
Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis
superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis
inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.
ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh
karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
Infeksi peritonitis relative
sulit ditegakkan dan tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab utama
peritonitis adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati
yang kronik. SBP terjadi bukan karena infeksi intrabdomen, namun biasanya
terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik.
Penyebab lain yang menyebabkan
peritonitis sekunder ialah perforasi appendiksitis, perforasi ulkus peptikum
dan duodenum, perforasi kolon akibat devertikulisis, volvusus atau kanker dan
strangulasi colon asenden. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ – organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal.
Adapun penyebab
spesifik dari peritonitis adalah :
1.
Penyebaran
infeksi dari organ perut yang terinfeksi
2.
Penyakit radang
panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual.
3.
Infeksi dari
rahim dan saluran telur, yang disebabkan oleh gonore dan infeksi clamedia.
4.
Kelainan hati atau gagal jantung, dimana bisa
terjadi asites dan mengalami infeksi.
5.
Peritonitis
dapat terjadi setelah suatu pembedahan.
PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh
mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh
ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,
tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum
peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh
permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ
intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu,
masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya
cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana
intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit
hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi
dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peritonitis bakterial primer.
1. Peritonitis bakterial primer.
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya
bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Streptococus atau Pneumococus. Faktor
resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah
pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat
memperberat suatu peritonitis.
3. Peritonitis non bakterial akut
Merupakan
peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine. Peritonitis bakterial
kronik(tuberkulosa) Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di
paru, intestinal atau tractus urinarius.
4. Peritonitis non bakterial kronik
(granulomatosa)
Peritoneum
dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan granuloma, dan
sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi
karena talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat disarung tangan
dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan mengurangi masalah ini.
MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda –
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara
usus. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik
dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi,
nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis,
berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat
lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis
bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan
bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada
peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri
ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus),
nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal
apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian
menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya
menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik,
septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan
rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah
atau menghilang.
Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut
sama dengan peritonitis bakterial.Peritonitis bakterial kronik (tuberculous)
memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat
badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan
gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda
peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan
laboratorium
Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur.
Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.
2. Pemeriksaan
X-Ray
Ileus
merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar
berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. Pemeriksaan
radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos
abdomen 3 posisi :
·
Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal
dengan proyeksi anteroposterior (AP ).
·
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau
memungkinkan
·
Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD),
dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan
pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya
udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
TANDA DAN GEJALA
o Syok
(neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita
peritonitis umum.
o Demam
o Distensi
abdomen
o Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal,
difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitis.
o Bising usus
tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari
lokasi peritonitisnya.
§ Nausea, vomiting
§ Penurunan
peristaltik.
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
(chushieri)
1. Komplikasi dini
§ Septikemia
dan syok septic
§ Syok hipovolemik
§ Sepsis intra
abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system
§ Abses
residual intraperitoneal
§ Portal
Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi
lanjut
§ Adhesi
§ Obstruksi
intestinal rekuren
PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik
yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau
intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pembuangan fokus septik atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan – tindakan menghilangkan nyeri.
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan
eksplorasi darurat, terutama bila disertai appendisitis, ulkus peptikum yang
mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis
akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya
tidak dilakukan.
Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa
macam antibiotik diberikan bersamaan. Cairan dan elektrolit bisa diberikan
melalui infus1.
PROGNOSIS
Jika
ditangani dengan baik, terutama pada kasus - kasus pembedahan peritonitis
(perforasi ulkus peptik, appendisitis, dan divertikulitis) mempunyai angka
kematian < 10% dan pasien kembali sehat seperti sediakala, tetapi pada
pasien – pasien dengan usia di atas 48 tahun, angka mortalitasnya sekitar 40%
jika disertai dengan penyakit – penyakit lainnya dan sistem imunnya menurun.
Pada anak – anak prognosis pada umumnya baik setalah
mendapat pengobatan dengan antibiotik. Jika peritonitis terjadi secara
menyeluruh, selalu berakibat fatal.
THERAPY
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian
diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan
pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum
luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup
pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. Pembuangan
fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi.
Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.
Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung
pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum,
karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. Drainase
(pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
PATHWAY
Interna (appendicitis perrforasi, tukak peptikum,
tumor, divetikulosis)
|
Bakteri E. Coli, Pseudomonas,
Streptococus, klebsiella)
|
Eksterna (trauma, operasi yg
tidak steril)
|
Invasi
bakteri
|
Infeksi
|
Leukosit
|
Kontaminasi
Bakteri
|
Peristaltic
|
Kompresi jaringan
|
Permeabilitas kapiler
|
Konstipasi
|
Lambung
tertekan
|
Inflamasi
|
Usus mengalami paralysis
|
Distensi
abdomen
|
peradangan
|
Mual muntah
|
Akumulasi rongga abdomen
|
Penumpukan
cairan dlm rongga peritoneum
|
Keb. Nutrisi tidak terpenuhi
|
nyeri
|
Kebocoran isi dari organ dalam
abdomen masuk ke rongga peritoneum
|
Gg pemenuhan nutrisi
|
Hipertermi
|
A. Pengkajian:
1.
Anamnesa :
a.
Identitas pasien :
o Nama
o Jenis
kelamin
o Umur
o Pekerjaan
o Suku/bangsa
o Pendidikan
o Tgl MRS
b.
Riwayat kesehatan:
o Keluhan
utama.
o Riwayat
penyakit sekarang.
o Riwayat
penyakit dahulu
o Riwayat
penyakit keluarga.
o Riwayat
psikososial
o Pola
kebutuhan hidup sehari-hari :
2.
Pemeriksaan Fisik
a.
keadaan umum.
b.
Pemeriksaan dari:
o B1(breathing)
o B2(blood)
o B3(bren)
o B4(bladder)
o B5(bowel)
o B6(bone)
o
B. Diagnosa keperawatan.
C. Intervensi.
ANALISA KASUS
KASUS
PERITONITIS
Nn. M 17 tahun, mahasiswa suku jawa,
klien datang kerumah sakit dengan diantar keluarganya dengan keluhan pingsan,
keluarga mengatakan nyeri diseluruh perutnya, sebelum klien mempunyai
apendisitis yang diobati sendiri dengan antibiotic dari salinan resep dokter 3
bulan terakhir, menurut keluarganya klien mengeluh mual sering muntah, nafsu
makan menurun, sulit buang air besar, pusing, keadaan somnolen, TD 90/60 mmHg,
RR 16x / menit, N 96x/ menit, S 36,7
ASUHAN KEPERAWATAN PERITONITIS
A.
Pengkajian
1.
Anamnesa
a.
Identitas pasien
Nama
: Nn. M
Jenis kelamin :
Perempuan
Umur
: 17 Tahun
Pekerjaan
: -
Suku/bangsa :
Jawa, Indonesia
Pendidikan
: mahasiswa
Tgl
MRS
: -
2.
Riwayat
kesehatan
a.
Keluhan utama :
klien datang
kerumah sakit dengan diantar keluarganya dengan keluhan pingsan, keluarga
mengatakan nyeri diseluruh perutnya.
b.
Riwayat
kesehatan sekarang : Pasien
mengalami peritonitis
c.
Riwayat
kesehatan dahulu : sebelum klien mempunyai apendisitis yang diobati
sendiri dengan antibiotic dari salinan resep dokter 3 bulan terakhir
d.
Riwayat
kesehatan keluarga : -
3.
Pengkajian pola
fungsional :-
4.
Pemeriksaan fisik
a.
keadaan Umum: somnolen
b.
Pemeriksaan dari :
o B1
(breathing) : RR 16x/menit,
o B2 (blood) :
TD : 90/60 mmHg, nadi: 84x/menit, suhu: 36,7 0C.
o B3 (brain) :
Somnolen
o B4
(bladder): -
o B5 (bowel):
sulit buang air besar
o B6 (bone) :
-
5.
Analisa Data :
NO
|
SYMPTOM
|
ETIOLOGI
|
MASALAH
|
1.
|
DS :
·
keluarga
klien mengatakan nyeri diseluruh perutnya.
DO :
·
k/u
somnolent
·
T/d :
90/60 mmHg
·
RR :
16x/mnt
·
N :
96x/mnt
·
Temp :
36,7c
|
Kompresi jaringan
Lambung tertekan
Distensi abdomen
Akumulasi rongga abdomen
Nyeri
|
Nyeri
|
2.
|
DS :
·
Sebelumnya
klien mempunyai appendicitis yang diobati sendiri dengan antibiotic dari
salinan resep dokter 3 bulan terakhir
DO : -
|
Inflamasi
Peradangan
Penumpukan cairan dalam
rongga peritoneum
Kebocoran isi dari organ
dalam abdomen masuk ke rongga peritoneum
hypertermi
|
Hypertermi
|
3.
|
DS :
·
Pasien sulit
buang air besar
DO :
·
Tubuh
pasien lemas
|
Kontaminasi bakteri
Peristaltic
Konstipasi
|
Konstipasi
|
4.
|
DS :
·
Keluarga
mengatakan klien mengeluh mual, sering muntah, nafsu makan menurun
DO :
·
Klien
pusing
·
Klien
kekurangan vitamin dan mineral
|
Usus mengalami paralisis
Anorexia, mual, muntah
Kurang vitamin dan mineral
Kebutuhan nutrisi tidak
terpenuhi
Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
|
Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
|
B.
Diagnosa Keperawatan
ü Nyeri berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen
ü Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan
ü Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
ü Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan denagan
anoreksia, mual muntah.
C.
Intervensi
NO
|
Hari/tgl/
Jam
|
Diagnosa
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
|
Nyeri berhubungan
dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen
|
Tujuan :
setelah dilakukan perawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri hilang / terkontrol
Kriteria hasil : pasien
menyatakan nyeri terkontrol / hilang
|
ü Kaji derajat nyeri
ü Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
ü Kolaborasi pemberian analgetik
ü Berikan tindakan kenyamanan
|
ü membandingkan derajat nyeri pada kondisi sebelumnya.
ü untuk mengontrol keluhan nyeri
ü untuk memberikan keuntungan emosional, mengurangi nyeri
ü untuk menghilangkan nyeri
|
2.
|
|
Hipertermi berhubungn dengan
proses peradangan
|
Tujuan :
setelah dilakukn prawatan 3 x
24 jam, diharapkan hipertermi pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil : suhu dalam
batas normal (370 C), Tidak mengalami komplikasi
|
ü Pantau suhu tubuh pasien
ü Berikan kompres hangat
ü Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan linen tempat tidur sesuai
indikasi.
ü Kolaborasi pemberian antipiretik
|
ü peningkatan suhu diatas 38,90C menunjukkan penyakit infeksius
akut.
ü dapat membantu mengurangi demam
ü suhu ruangan / jumlah selimut diubah untuk mempertahankan suhu mendekati
normal.
ü digunakan untuk mengurangi demam
|
3.
|
|
Konstipasi berhubungn dengan
penurunan peristaltik usus
|
Tujuan :
setelah dilakukan perawatan 3 x
24 jam, diharapkan tidak terjadi perubahn pola eliminasi klien.
Kriteria hasil : pola BAB
normal
(1 – 2 x / hari) Mengeluarkan
feses tanpa mengejan
|
ü Kaji adanya distensi danik usus
ü Anjurkan pasien untuk melakukan pergerakan sesuai kemampuan
ü Jelaskan kepada pasien untuk menghindari makanan yang membentuk gas
ü Kolaborasi berikan pelunak feses.
|
ü Distensi dan hilangnya peristaltik usus menandakan bahwa fungsi defekasi
hilang.
ü menstimulasi perstaltik yang memfasilitasi terbentuknya flatus
ü menurunkan distres gastrik dan distensi abdomen.
ü untuk merangsang peristaltik dngan perlahan / evakuasi feses.
|
4.
|
|
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah.
|
Tujuan :
setelah dilakukan perawatan
selama 3 x 24 jam, diharapkan kebutuhan nutrisi pasien adekuat.
Kriteria hasil:
menunjukan peningkatan berat
badan,
menunjukan peningkatan nafsu
makan
|
ü Timbang berat badan tiap 2 hari sekali
ü Auskultasi bising
ü Berikan kebersihan oral
ü Kolaborasi rujuk dengan ahli gizi
|
ü untuk menunjukkan keefektifan terapi.
ü peningkatan bising usus menandakan kembalinya fungsi usus.
ü mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan
ü untuk menentukan program diet yang tepat
|
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peritonitis adalah suatu peradangan dan peritoneum, pada membrane serosa,
pada bagian rongga perut. Peritonitis adalah inflamasi peritoneum – lapisan
membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala,
diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda
– tanda umum inflamasi. Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa
rongga abdomen dan dinding perut bagian dalam.
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel –
sel, dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan
pada abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan
oleh infeksi pada peritoneum.
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.
Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, dan peritoneum
visceral, yang berfungsi menutupi sebagian besar dari organ – organ abdomen dan
pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling bergeseran
tanpa ada penggesekan. Organ–organ digabungkan bersama dan menjaga kedudukan
mereka tetap, dan mempertahankan hubungan perbandingan organ – organ terhadap
dinding posterior abdomen. Sejumlah besar kelenjar limfe dan pembuluh darah
yang termuat dalam peritoneum, membantu melindunginya terhadap infeksi
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus
visera dalam rongga perut. Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel
mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang
menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen
dan berhubungan dengan fasia muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan.
B. Saran
Semoga dengan pembuatan makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. kami mengucapkan terimah kasih kepada
yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam pembuatan makalah ini
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan malakah ini yang nantinya akan memberikan
manfaat kepada kita semua.semoga sukses untuk kita semua. Merdeka.
DAFTAR PUSTAKA
-
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman Untuk Perencanaan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
-
Inayah, Iin Skp. 2004. Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta: Salemba Medika
-
Nanda. 2002. Diagnosa Keperawatan Nanda : Definisi dan
Klasifikasi 2001-2002: Diterjemahkan oleh Mahasiswa PSIK-B UGM Angkatan 2002.
-
Juanda, Edy. 1999. Penyakit Pencernaan. Bakti Mulia
:Surabaya.
-
Suesmasto,
Atiek S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesulapius