BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
latar belakang
Tiroiditis
merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya
inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak
dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis dapat dibagi
berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis
dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid
Tiroiditis
adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme
sementara yang seringkali diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama
sekali tidak terjadi perubahan dalam fungsi tiroid. Tiroiditis merupakan
inflamasi kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut atau kronis.
Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau
implemantasi limfotik pada kelenjar tiroid.
Berdasarkan
penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis akut, subakut,
dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut, tiroiditis
karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi menjadi
yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang tidak
disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan
oleh karena obat-obatan. Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto,
Riedel, dan infeksiosa kronis
Tiroiditis
Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang paling umum dan
bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto pada tahun
1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut pula sebagai tiroiditis
autoimun kronis dan merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang
iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-50
tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi,
infiltrasi limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid.
Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan
Tiroiditis
Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap tiroglobulin dalam
darah. Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama kalinya menemukan antibodi
terhadap tirogobulin, yang bertindak sebagai autoantigen, dalam serum
penderita penyakit Hashimoto sehingga terjadi inflamasi akibat autoimun. Perjalanan
penyakitnya sendiri pada awalnya mungkin dapat terjadi hipertiroid oleh adanya
proses inflamasi, tetapi kemudian kerusakan dan penurunan fungsi tiroid yang
luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa membesar
membentuk nodul goiter. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini akan
menetap sehingga diperlukan terapi hormon tiroid yang bertujuan mengatasi
defisiensi tiroid serta memperkecil ukuran goiter
1.2
rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas dimana tiroiditas hasimoto merupakan suatu penyakit peradangan kelenjar
toroid ,maka kami merumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana konsep
penyakit tiroiditas hasimoto tersebut ? dan Bagamana asuhan keperawatan pada
penyakit tiroiditas hasimoto ?
1.3
Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan
pada pasien dengan tiroid hashimoto.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian tiroid hashimoto.
b.
Mahasiswa
mampu menyebutkan penyebab tiroid hashimoto.
c.
Mahasiswa
mampu mengetahui tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, diagnosa, dan intervensi yang mungkin muncul pada pasien tiroid hashimoto.
d. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan pada pasien
dengan tiroid hashimoto.
BAB II
TINJAUAN TIORITIS
TINJAUAN TIORITIS
2.1
Definisi
Tiroiditis
adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme sementara yang seringkali diikuti oleh
hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak terjadi perubahan dalam fungsi
tiroid. (L.
Patricia,
1988).
Tiroiditis Hashimoto (Tiroiditis
autoimun) adalah peradangan kelenjar tiroid yang sering menyebabkan hipotiroidisme.
Tiroiditis Hashimoto merupakan jenis tiroiditis yang paling sering ditemukan.
Paling sering terjadi pada wanita usia lanjut dan cenderung diturunkan. (Janeway,2001).
Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid. Keadaan
ini bisa bersifat akut, sub akut atau kronis. Masing-masing tipe tiroiditis
ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau implemantasi limfotik pada kelenjar
tiroid. (R. Mirakian, 2002).
Penyakit Hashimoto adalah suatu kelainan
yang mempengaruhi tiroid, kelenjar kecil yang terletak di pangkal leher, di
bawah jakun. Kelenjar tiroid adalah bagian dari sistem endokrin, yang
menghasilkan hormon yang mengkoordinasikan kegiatan tubuh. (Teguh Budi Santoso, 2010).
Dalam penyakit Hashimoto, juga dikenal
sebagai tiroiditis limfositik kronis, sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar
tiroid. Peradangan yang dihasilkan sering menyebabkan kelenjar tiroid yang
kurang aktif (hipotiroidisme).
|
2.2
Anatomi Fisiologi
Kelenjar tiroid merupakan organ yang
berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah
anterior trachea.Kelenjar ini terdiri atas dua lobus lateral yang dihubungkan
oleh sebuah istmus.Kelenjar tiroid mempunyai panjang kurang lebih 5 cm serta 3
cm dan berat kurang lebih 30 gr.Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon
yang berbeda tiroksin (T4), Trilodotironin (T3) dan Kalsitonin.
Ambilan dan metabolisme
Iodium.Iodium merupakan unsur esensial bagi tiroid untuk sintesis hormon tiroid.Gangguan
utama akibat defisiensi Iodium adalah perubahan fungsi tiroid. Iodium
dikonsumsi dari makanan dan diserap dalam darah di dalam traktus
gastrointestinal. Kelenjar tiroid bekerja sangat efisien dalam mengambil Iodium
dari darah dan kemudian memekatkannya dalam sel-sel kelenjar tersebut. Ion-ion
iodida akan diubah menjadi molekul Iodium yang akan bereaksi dengan tirosin
(suatu asam amino) untuk membentuk hormon tiroid.
Pengaturan fungsi tiroid. Sekresi
tirotropin, atau TSH (Thyriod Stimulating Hormone), oleh kelenjar hipofisis
akan mengendalikan kecepatan pelepasan hormon tiroid. Selanjutnya, pelepasan
TSH ditentukan oleh kadar hormon tiroid dalam darah. Jika konsentrasi hormon
tiroid dalam darah menurun, pelepasan TSH meningkat sehingga terjadi
peningkatan keluaran T4 dan T3.Keadaan ini merupakan suatu contoh pengendalian
umpan balik (feedback control).Hormon pelepasan tirotropin (TRH) yang disekresi
oleh hipotalamus memberikan pengaruh yang mengatur pelepasan TSH dari
hipofisis.Fungsi hormon tiroid.Fungsi utama hormon tiroid T3 dan T4 adalah
mengendalikan aktivitas metabolik seluler.Kedua hormon ini bekerja sebagai alat
pacu umum dengan mempercepat proses metabolisme.Hormon tiroid mempengaruhi
replikasi sel dan sangat penting bagi perkembangan otak.Adanya hormon tiroid
dalam jumlah yang adekuat juga diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui
efeknya yang luas terhadap metabolisme seluler, hormon tiroid mempengaruhi
sistem organ yang penting.
Kalsitonin atau tirokalsitonin
merupakan hormon penting lainnya yang disekresi oleh kelenjar tiroid.Hormon ini
disekresi oleh kelenjar tiroid sebagai respon terhadap kadar kalsium plasma
dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium dalam tulang.
Efek hormon tiroid pada pertumbuhan meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin.Bila janin tidak dapat
mensekresi hormon tiroid dalam waktu yang cukup maka pertumbuhan dan pematangan
otak sebelum dan sesudah bayi dilahirkan akan sangat terbelakang dan otak tetap
berukuran kecil dari normal.Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme
sebagian besar sel tubuh.Bila produksi hormon tiroid sangat meningkat maka
hampir selalu menurunkan berat adan. Dan bila produksinya menurun hampir selalu
meningkatkan nafsu makan.Keadaan ini dapat melebihi keseimbangan perubahan
kecepatan metabolisme.
Efek pada respiratori. Meningkatnya
kecepatan metablisme akan meningkatkan pemakaian oksigen dan pembentukan karbon
dioksida.Ini akan mengaktifkan semua mekanisme yang meningkatkan kecepatan dan
kedalaman pernapasan.
Efek pada saluran cerna, meningkatkan nafsu makan dan
asupan makanan, karena hormon tiroid meningkatkan kecepatan sekresi getah
pencernaan dan gerakan saluran cerna. Sering terjadi diare, kekurangan hormon
tiroid dapat menimbulkan konstipasi.
Efek pada sistem syaraf pusat.Hormon
tiroid meningkatkan kecepatan berfikir, tapi juga sering menimbulkan disosiasi
pikiran, dan sebaliknya berkurang hormon tiroid akan menurunkan fungsi ini. Efek
terhadap fungsi otot.Peningkatan hormon tiroid dapat menyebabkan otot bereaksi
dengan kuat, namun bila jumlah hormon ini berlebihan, maka otot-otot malahan
menjadi lemah oleh karena berlebihnya katabolisme protein. Kekurangan hormon
tiroid menyebabkan otot sangat lambat, tremor pada otot.
Efek pada tidur.Karena efek yang melelahkan
dari hormon tiroid pada otot dan sistem syaraf pusat, maka penderita
hipertiroid seringkali merasa capai terus menerus tetapi karena efek ekstasi
dari hormon tiroid pada sinaps, timbul kesulitan tidur.Sebaliknya, somuolen
yang berat merupakan gejala khas dari hipertiroidisme, disertai dengan waktu
tidur yang berlangsung selama 12 jam sampai 14 jam sehari. Efek hormon tiroid
pada fungsi seksual. Pada pria, berkurangnya hormon tiroid menyebabkan
hilangnya libido dan sebaliknya sangat berlebihannya hormon ini seringkali
menyebabkan impotensi. Pada wanita, kekurangan hormon tiroid seringkali
menyebabkan timbulnya menoragia dan polimenore.
2.3
Etiologi
Etiologi
dari tiroiditis berdasarkan klasifikasi
·
Tiroiditis hashimoto
Untuk alasan yang tidak diketahui,
tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi autoimun, membentuk antibodi
yang menyerang kelenjar tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan sindroma Kleinefelter.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan sindroma Kleinefelter.
Penyebab dari tiroiditas hasimoto
adalah Dalam
keadaan normal, sistem kekebalan tubuh terdiri dari antibodi dan sel darah
putih. Sel-sel ini hadir dalam tubuh untuk melindungi tubuh terhadap virus,
bakteri, dan antigen lainnya. Pada penyakit autoimun, antibodi dan sel darah
putih justru menyerang sel tubuh yang sehat. Pada kasus tiroiditis Hashimoto,
antibodi menyerang kelenjar tiroid sehingga menyebabkan peradangan, kelenjar
tiroid yang kurang aktif, dan kekurangan produksi hormon tiroid. Kekurangan
produksi tiroid menyebabkan kelenjar pituitari memerintahkan kelenjar tiroid
memproduksi hormon lebih banyak lagi. Hal ini menyebabkan pembesaran kelenjar
tiroid, suatu kondisi yang disebut gondok.
Penyebab dari
penyakit tiroid autoimun masih belum diketahui. Banyak ahli berpikir bahwa
virus atau bakteri memicu berkembangnya penyakit ini. Faktor genetika juga
dituduh sebagai penyebab tiroiditis Hashimoto. Orang yang memiliki riwayat
keluarga diabetes tipe 1 atau penyakit celiac cenderung mengembangkan
tiroiditis Hashimoto. Ada berbagai faktor lainnya seperti umur dan jenis
kelamin yang mampu memperbesar risiko.
·
Tiroiditis subakut
Yang jelas sampai sekarang tidak
diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai
antibody autoimun.
·
Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus
aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan pneumococcus. Infeksi dapat terjadi
melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran
getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten, kelainan
yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini
dapat menjurus ke mediastinum, bahkan dapat pecah ke trakea dan esophagus.
·
Tiroiditis limfosotik laten
Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi
penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke dalam kelenjar tiroid.
2.4 Klasifikasi
1.
Tiroiditis Akut
Merupakan kelainan langka yang disebabkan
oleh infeksi bakteri, jamur, mikrobakteri atau parasit pada kelenjar tiroid.Stapilokokus
aureus atau jenis stafilokokus lain merupakan penyebab yang paling sering
dijumpai.Secara khas, penyakit ini menyebabkan nu\yeri serta pembebgkakan leher
pada bagian anterior, panas, disfagia, dan dispocia.Faringitis atau gejala
sakit leher sering dirtemukan.Pemeriksaan dapat menunjukkan rasa hangat,
eritema (kemerahan) dan nyeri tekan pada kelenjar tiroid.Tetapi teoriditis akut
mencakup pemberian preperat antibiotik dan penggantian cairan.Tindakan insisi
dan drainase diperlukan jika terdapat abses.
2.
Tiroiditis Subakut
Tiroiditis sub akut dapat berupa
tiroiditis garanula matosa sub akut (tiroiditis de quervam) atau tiroiditis
tanpa nyeri (silent thiroiditis atau tiroiditis limpfositik sub
akut).Tiroiditis granulomatosa sub akut merupakan kelainan inflamasi pada
kelenjar tiroid yang terutama mennterang wanita nberusia antara 40 hingga 50
tahun (sakiyuma 1993) kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan yang nyeri
pada leher bagian anterior, dan berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian
menghilang spontan tanpa gejala sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah
infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra simetris dan kadang-kadang
terasa nyeri. Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa hangat.Pasien
merasa sulit menelan dan mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas,
kegelisahan insoumnia dan penurunan berat badan yang kesemuanya merupakan
manipestasi dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan banyak pasien juga
merasakan gejala demam serta menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis
limposifik sub akut) sering terjadi pada periode pasca partus dan diperkirakan
disebabka oleh autoimun. Gejala hipertiroidisme atau hipertiroidisme mungkin
saja timbul, tetapi ditunjukkan untuk menangani gejala, dan pemeriksaan tindak
lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu dianjurkan untuk menentukan apakah
pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma yang kemudian.
3.
Tiroiditis kronis
(tiroiditis hashimoto)
Tiroiditis kronis yang paling sering
dijumpai pada wanita berusia 30 hingga 50 tahun diberi nama penyakit hashimoto
atau tiroiditis limfosik kronis.penegakan diagnostiknya dilakukan berdasarkan
gambaran histopatologis kelenjar tiroid yang mengalami inflamasi.Berbeda denag
tiroiditis akut, bentuk yang kronis ini biasanya tidak disertai nyeri, gejala
penekanan ataupun rasa panas, aktifitas kelenjar tiroid biasaya normal atau
rendah dan bukan meningkat.
2.5 Patofisiologi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah
penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi
antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali
respon autoimun terhadap antigen tiroid.
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,
berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam
patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan
seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler
yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T
tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid
berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi
inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi
antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor
di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen. Penyakit Hashimoto, juga disebut tiroiditis
limfositik kronis atau tiroiditis autoimun, adalah suatu bentuk peradangan
kronis dari kelenjar tiroid. Hasil Peradangan kerusakan pada kelenjar tiroid
dan fungsi tiroid berkurang atau "hipotiroidisme," yang berarti
kelenjar tidak membuat hormon tiroid yang cukup untuk kebutuhan tubuh. Penyakit
Hashimoto adalah penyebab paling umum dari hipotiroidisme di Amerika Serikat.
Tiroid adalah kecil, kelenjar berbentuk
kupu-kupu di bagian depan leher di bawah laring atau kotak suara. Kelenjar
tiroid membuat hormon tiroid dua, triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4).
Hormon tiroid beredar ke seluruh tubuh dalam aliran darah dan bertindak di
hampir setiap jaringan dan sel dalam tubuh. Hormon-hormon ini mempengaruhi
metabolisme, perkembangan otak, pernapasan, denyut jantung, fungsi sistem
saraf, suhu tubuh, kekuatan otot, tingkat kelembaban kulit, siklus haid, berat
badan, kadar kolesterol, dan banyak lagi.
Produksi hormon tiroid diatur oleh hormon lain
yang disebut thyroid-stimulating hormone (TSH). TSH dibuat oleh kelenjar
hipofisis, kelenjar seukuran kacang yang terletak di otak. Ketika kadar hormon
tiroid dalam darah rendah, rilis hipofisis lebih TSH. Ketika kadar hormon
tiroid yang tinggi, kelenjar di bawah otak merespon dengan menjatuhkan produksi
TSH.
Menggambar kepala dan leher yang menunjukkan
tiroid dan kelenjar pituitari, dengan panah diagram aliran hormon TSH, T3, dan
T4 antara dua kelenjar. Produksi
kelenjar tiroid dari hormon tiroid (T3 dan T4) dipicu oleh thyroid-stimulating
hormone (TSH), yang dibuat oleh kelenjar pituitari.
Penyakit Hashimoto adalah gangguan autoimun,
yang berarti sistem kekebalan tubuh menyerang sel sendiri yang sehat dan
jaringan. Pada penyakit Hashimoto, sistem kekebalan tubuh membuat antibodi yang
menyerang sel-sel dalam tiroid dan mengganggu kemampuan mereka untuk
menghasilkan hormon tiroid. Sejumlah besar sel darah putih yang disebut
limfosit terakumulasi dalam tiroid. Limfosit membuat antibodi yang mendorong
proses autoimun.
a. Faktor Genetik
Gen yg terlibat dalam
patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respons imun seperti major
histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi,
dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti
tiroglobulin, TPO = thyroid peroxidase, transporter iodium, TSHR
= TSH Receptor. Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen
yang dapat diidentifikasi, yaitu : CD40, CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4),
HLA-DR, protein tyrosinephosphatase-22, thyroglobulin, dan TSHR. CD40,
anggota TNF-R receptor berperan penting dalam aktivasi sel B,
menginduksi proliferasi sel B dan sekresi antibodi. Pada penyakit Graves
terjadi up-regulation ekspresi CD40 di kelenjar tiroid; CD40 merupakan
gen yang suseptibel untuk penyakit Graves, yang diekspresikan dan fungsional di
tirosit (Ridgway et al, 2007). Cytotoxic
T lymphocyte antigen-4
(CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T
dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T
dengan mempresentasikan peptida antigen yang terikat protein HLA kelas II pada
permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein
yang diekspresikan pada APC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi
dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada
waktu presentasi antigen. CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator
non-spesifik, yang dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses
autoimun lain, tidak hanya pada penyakit Graves. CTLA-4 berasosiasi dan terkait
dengan berbagai bentuk PTAI (penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, dan
pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti
diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis (Tomer et al, 2003).
Pada ras Kaukasus penyakit
Graves berasosiasi dengan HLA-B8. Kemudian diketahui bahwa asosiasinya lebih
kuat dengan HLA-DR3 yang mempunyai linkage disequilibrium dengan HLA-B8.
Pada bangsa Jepang terdapat asosiasi dengan HLA-B35, pada bangsa Cina dengan
HLA-Bw46, dan pada keturunan Afrika-Amerika dengan HLA DRB3*0202 (Tomer et al,
2003). Berbeda dengan penyakit Graves, asosiasi antara tiroiditis Hashimoto
dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini menyangkut masalah definisi
penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial. Spektrum klinik
tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi antitiroid
dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune
thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis
atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi
antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras
Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto
dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina (Tomer
et al, 2003).
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan
telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun,
di antaranya : berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium,
defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu
reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok,
kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteria. Di
samping itu penggunaan obatobat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan
Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid (Prummel et al, 2004).
Berat badan lahir bayi rendah
merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung
khronik; kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi
glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa
mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin
tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko
lingkungan pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian
hari (Prummel et al, 2004).
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipo- dan
hiper-tiroidi. Hipotiroidi lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium
dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih
tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di
daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan
tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan
dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang
penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroidi
atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya
telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves,
asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroidi (efek
Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar
tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya
akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan
pula faktor risiko terjadinya PTAI (Prummel et al, 2004).
Selenium merupakan trace element yang
esensial untuk síntesis selenocysteine, yang juga disebut sebagai
21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun; defisiensi
selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi
virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T
memerlukan selenium. Di samping itu, selenium merupakan pula
suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan
penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu
selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam
produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka
keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate).
Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume
tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit.
Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200
ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada
penderita hipotiroidi subklinik akan menurunkan titer antibodi
anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status
hormon tiroid (Prummel et al, 2004). Penyakit autoimun yang organ specific jauh
lebih sering ditemukan pada wanita. Penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto
5-10 kali lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada
pria. Alasannya belum jelas, tapi faktor genetik termasuk faktor
hormonal pasti berperan (Prummel et al, 2004).
Stress mempengaruhi sistem
imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu
hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek
imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda
terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi
respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan
virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat.
Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu
seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit
Graves.
Suatu penelitian prospektif melaporkan
ada 4 kelompok kepribadian (hypochondria, depression, paranoia, dan
mental fatigue) yang terkait dengan tingkat kekambuhan penyakit
Graves setelah pengobatan antitiroid; kehidupan yang penuh ketegangan
(stress) berkorelasi dengan titer antibodi anti-TSH (TRAb).
Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan
faktor stress (Prummel et al, 2004).
Faktor infeksi baik virus
maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada tiga
kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor
pencetus PTAI. Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung
dan kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan
menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2
(IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko
kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah
pengobatan dengan Iodium radioaktif. Merokok juga akan menurunkan kemangkusan
radioterapi dan pengobatan oftalmopatia dengan kortikosteroid (Prummel
et al, 2004). Pembentukan
antibodi antitiroid tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune thyroid
disease).
2.6 PATOFLOW
Inflamasi kelenjar tiroid
Tiroiditi
Tiroiditis akut Tiroiditis subakut
Tubuh melawan
reaksi autoimun
Membentuk
antibodi
dari
kelenjar tiroid
Pembelasaran
kelenjar tiroid
Pengobatan terhadap hipitiroidisme
Genetik Lingkungan
CD4 Rusaknya Kerusakan yodium
daerah kelenjar
Meningkatkan
Kerusakan kelenjar tiroid akibat
suspeptibilitas
radiasi (infeksi virus,bakteri)
terhadap PTAI
Tidak
teraturnya Penurunan fungsi Inflamasi Kurangnya tiroid
informasidenyut
gastrointestinal Bakteri,
kuman
jantung
hashimoto dari otak (BPU)
Takikardia Eferen Koping individu
tidak
efektif
MK
: Gangguan integrasi kulit
Resiko infeksi (tanda infeksi panas 42oC)
2.7 Manefestasi
klinis
Penyakit Hashimoto tidak memiliki
tanda-tanda dan gejala yang unik. Penyakit biasanya berkembang perlahan-lahan
selama beberapa tahun dan menyebabkan kerusakan tiroid kronis yang
mengakibatkan penurunan kadar hormon tiroid dalam darah. Tanda-tanda dan gejala
terutama orang-orang dari kelenjar tiroid kurang aktif (hipotiroidisme).
Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme
sangat bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan kekurangan hormon. Pada
awalnya, mungkin gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau
tanda-tanda menua. Tetapi semakin lama penyakit berlangsung, gejala dan tanda
makin jelas.
Tanda dan gejala tersebut meliputi:
·
Kelelahan
dan kelesuan
·
Sembelit (konstipasi)
·
Wajah
bengkak
·
Suara
parau
·
Nyeri
otot, kelembutan dan kekakuan, terutama di bahu dan pinggul
·
Kulit
pucat, kulit kering
·
Depresi,
gelisah atau cemas
·
Detak jantung cepat
2.8 komplikasi
1.
Hipotiroidisme & Hipertiroidisme
2.
Kerusakan pita suara (bisu)
3.
DM tipe 1
4.
Penyakit Addison
5.
Leukemia
6.
Sklerosis multiple
7.
Kanker gastrik
2.9 pemeriksaan
dianostik
1. T4 Serum
2. T3 Serum
3. Tes THS
4. Tiroglobulin
5. Ambilan
iodium radioaktif
6. Pemindai
radio atau pemindai skintilasi tiroid
7. Implikasi
tes tiroid dalam keperawatan
8. Tes
fungsi tiroid berfungsi menegakkan diagnosa :
o
Mengukur kadar kolesterol
o
EKG
o
Alanin transminase (LT) dan SGPT
o
LDH
o
USG
o
CT-Scan
o
MRI
2.10 Pemeriksaan
Penunjang
a. Pemeriksaan
Laboratorium
Pada keadaan timbulnya gejala-gejala subyektif
dan temuan dalam pemeriksaan fisik maka pemeriksaan serum TSH dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa. Pemeriksaan TSH merupakan suatu tes yang sensitif untuk
mengetahui fungsi thyroid. Biasanya ditemukan kadar TSH meningkat,
sedangkan kadar T4 total atau T4 bebas
rendah.(6) Sedangkan kadar serum total T3 dan T3 bebas tidak akan menurun
hingga ada kerusakan lebih lanjut, karena terjadinya peningkatan konsentrasi
serum thyrotropin menstimulasi thyroid untuk melepaskan T3.(10) Pada saat total
T4 lebih banyak ditemukan daripada T4 bebas, T3 resin uptake dapat membantu
untuk mengkoreksi kadar protein binding antara T4 total dan T3, terutama bila
ada kadar abnormalitas dari TBG. Bila kedua serum TSH dan T4 kadarnya rendah
hal ini memperkuat adanya keadaan hipothyroidisme, begitu pula bila kadar T3
lebih rendah dibawah kadar normal maka gejala-gejala dan tanda-tanda
hypothyroidisme akan muncul. Ditemukannya autoantibodi thyroid yaitu anti –TPO
dan antibodi anti-Tg memperkuat adanya penyakit thyroiditis Hashimoto.
b. Pemeriksaan
Radiologi dan USG
Pemeriksaan USG biasanya tidak diperlukan dalam
menegakkan diagnosa thyroiditis Hashimoto, tetapi berguna untuk memperkirakan
ukuran thyroid dan ekstensi retrosternal dan untuk mengevaluasi bentuk dari
nodul jika ada. Alat USG digunakan untuk menentukan nodul itu kistik atau solid
dan mungkin bermanfaat untuk pemeriksaan Fine-needle aspiration dari nodul
berukuran kecil pada saat ada indikasi dan penderita dalam keadaan bentuk
anatomi leher yang berubah. Diagnosa pasti untuk menentukan jinak dan ganasnya lesi
daripada thyroid hanya dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan sitologi atau
histologi dari jaringan thyroid.
Iodium uptake dan scan biasanya tidak
diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosa thyroiditis Hashimoto ( biasanya
uptake iodium mungkin meningkat sementara pada pasien thyroiditis Hashimoto
dengan intake iodium dari makanannya rendah karena efek dari peningkatan kadar
TSH). Pemeriksaan T4 dan T3 berguna untuk membedakan antara thyroiditis
hashimoto dan penyakit Grave jika ada hipertiroidisme sekunder. Pada pasien
dengan nodul yang jelas uptake iodium dan scan mungkin berguna untuk
mengklasifikasi nodul tersebut nodul panas atau dingin, tetapi kadar TSH
biasanya adekuat untuk mengetahui status fungsional dari thyroid.
c. Pemeriksaan
lain nya
Pemeriksaan dengan menggunakan biopsi aspirasi
jarum dilakukan ketika dijumpai adanya nodul-nodul yang berkembang/membesar
dengan cepat atau ketika ukuran dari thyroid meningkat dengan cepat untuk
menentukan keganasan atau adanya thyroid lymphoma.
Thyroiditis Hashimoto merupakan diagnosa
histologi. Biasanya tampak kelenjar thyroid memperlihatkan adanya infiltrasi
limfosit yang difuse dan infiltrasi sel plasma dengan bentuk folikel limfoid
berasal dari hiperplasia folikular dan kerusakan hingga dasar membran dari
folikel. Adanya suatu atrofi dari parenkim merupakan suatu bukti. Hubungan
antara adanya autoantibodi thyroid yang dinamakan anti-TPO dan anti_Tg sangant
membantu dalam menentukan diagnosa. Pemeriksaan penunjang yang tidak perlu
dilakukan secara rutin dalam menegakkan diagnosa dan untuk mengevaluasi keadaan
pasien yaitu:
· CBC
count
· Pemeriksaan
profil lipid total dan fraksi lipid
· Panel
metabolisme basal
· Kreatin
kinase
· Prolaktin
· Rontgent
dada
· ECG
Pemeriksaan fungsi
tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau
jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake.
Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan
konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4,
T4 merupakan hormon yang lebih poten. Perubahan tiroxine-binding
globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas,
dan sedikit merubah T3. Peningkatan kadar T4
biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan
T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan.
Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid
primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum
dan eksplorasi bedah.
2.11 Penatalaksanaan Medis
Jika
penyakit hashimoto dengan goiter tiroid, atau menyebabkan hormon tiroid,
penderita memerlukan penggantian hormon tiroid yang bertujuanmengatasi
desfisiensi tiroid serta mengecilkan ukuran nodul goiter. Pengobatan dengan penggunaan
sehari-hari dari hormon sintesis seperti levotiroksin (levothroid, syhintroid).
Levotiroksin sintesis identik dengan tiroksi, versi alamiah hormon tiroid ini
dibuat oleh kelenjar tiroid.
Kadang
tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan asimtomatik. Bila
kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan tindakan pengangkatan,
sebaiknya operasi ini di tunda karena kelenjar tiroid tersebut dapat mengecil
dengan sejalannya waktu. Pemberian tiroksin dapat memepercepat hal tersebut.
Disamping itu juga tiroksin dapat diberikan pada keadaan hipotiroidisme.
Pada
pasien usia tua, dosis yang dimulai dengan yang rendah dan ditingkatkan secara
bertahap. Aksi hormon sangat lambat pada tubuh, sehingga pengobatan diperlukan
waktu beberapa bulansambil melihat perkembangan gejalaatau ukuran goiter. Karena secara umum gejala hipotiroid pada
penyakit tiroid ini bersifat menetap, maka kadang dibutuhkan pengobatan seumur
hidup dengan dosisyang disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai keadaan
individual pasien.
Dosis
yang tidak adekuat akan mengakibatkan bertambah besarnya goiter, dan gejala
hipotiroid terus menerus. Kondisi ini dihubungka juga dengan peningkatan
kolestrol serum, peningkatan resikoatherosklerosis dan penyakit jantung.
Sedangkan apabila dosis berlebihan, dapat menimbulkan gejala hipertiroid yang
dapat mengakibatkan kerja jantung yang berlebihan dan meningkatkan resiko
osteoporosis.
Bila
terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat anti-tiroid. Pemberian
gulkokortikoiddapat menyebabkan regresistruma dan mengurangititer antibodi.
Tetapi mengingat efek samping dan kenyataan bahwa aktivitas penyakitdapat
kambuh kembali sesudah pengobatan dihentikan, maka pemakaian obat golongan ini
tidak dianjurkan pada keadaan biasa.
2.12 Pengobatan
Pengobatan untuk penyakit Hashimoto dapat mencakup pengamatan dan
penggunaan obat-obatan. Jika penyakit Hashimoto menyebabkan kekurangan hormon
tiroid, penderita mungkin memerlukan terapi penggantian hormon tiroid. Hal ini
biasanya melibatkan penggunaan sehari-hari dari hormon tiroid sintetis
levothyroxine (levothroid, Levoxyl, Synthroid). Levothyroxine sintetis identik
dengan tiroksin, versi alami hormon ini dibuat oleh kelenjar tiroid. Obat telan
mengembalikan kadar hormon yang memadai dan membalikkan semua gejala hipotiroidisme.
2.1 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi
tirotoksikosis yang ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada
pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid atau beta-adrenergik.
Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada
setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat
anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah
menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum
dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya.
Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat
menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula
dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan
pada pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan
sindroma McCune-Albright).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
pengkajian
Riwayat dan pemeriksaan kesehatan berfokus pada kekambuhan
gejala yang berkaitan dengan percepatan metabolisme. Hal ini mencakup keluhan
keluarga dan pasien tentang kepekaan dan peningkatan reaksi emosional.Penting
juga untuk menentukan dampak dari perubahan ini yang telah dialami dalam
interaksi pasien dengan kelaurga, teman, dan rekan kerja.Riwayatnya meliputi
stresor lain dan kemampuan pasien untuk menghadapi stres.
Status nutrisi dan adanya gejala
dikaji. Kekambuhan gejala berkaitan dengan output sistem saraf berlebihan
dan perubahan penglihatan dan penampilan mata.Oleh karena kemungkinan adanya
perubahan emosi yang berkaitan dengan hipertiroid, status emosi dan psikologi
pasien dievaluasi. Keluarga pasien mungkin memberikan informasi
tentang
perubahan terakhir dalam status emosi pasien.
1.
Data Subjektif
Hipersekresi kelenjar tiroid
menimbulkan efek yang hebat pada kemampuan pasien untuk berfungsi, begitu pula
pada proses-proses fisiologis.Perawat mengumpulkan data dari pasien atau
anggota keluarganya mengenai keadaan yang lalu dan keadaan sekarang : Tingkat
energi, kemampuan suasana hati dan mental,Kemampuan melaksanakan kegiatan
sehari-hari, Kemampuan mengatasi stress, Intoleransi terhadap panas atau
dingin, Asupan makanan, Pola eliminasi.
Wawancara harus dapat membantu
perawat mengetahui pemahaman pasien atau keluarganya mengenai penyakit dan
pengobatannya, dan mengenai perawatan yang diperlukan oleh pasien.
2.
Data Objektif
Pemeriksaan fisik awal harus
mencakup keterangan pokok mengenai pasien : status mental (kemampuan mengikuti pengarahan),status
gizi, status kardiovaskular, karakteristik tubuh, penampilan dan tektur kulit,
penampilan mata dan gerakan ekstraokuler, adanya edema serta lokasinya,
penampilan leher dan gerakannya, lingkaran perut, ekstremitas.
3.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat
dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau jaringan
perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3
dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3
resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan konsentrasi protein serum yang
dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan
hormon yang lebih poten Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan
prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4
biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan
T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan.
Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid
primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum
dan eksplorasi bedah.
4.
Dasar Data Pengkajian
a. Aktifitas
/ istirahat
Gejala : insomnia,
sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan otot.
Tanda : atrofi otot.
b.
Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri
dada (angina).
Tanda : disritma (vibrilasi atrium), irama gallop,
mur-mur, peningkatan tekanan darah dengan tekanan nada yang berat.Takikardi
saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tiroksikosisi).
c.
Eliminasi
Gejala : urine dalam jumlah
banyak, perubahan dalam feces, diare.
d.
Integritas ego
Gejala : mengalami stres yang
berat (emosional, fisik)
Tanda : emosi labil 9euforia
sedang sampai delirium), depresi.
e.
Makanan & cairan
Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu
makan meningkat, makan banyak, makannya sering kehausan, mual, muntah.
Tanda : pembesaran tiroid,
goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f.
Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental,
perilaku (bingung, disorientasi, gelisah, peka rangsang), tremor halus pada
tangan, tanpa tujuan beberapa bagian tersentak-sentak, hiperaktif refleks
tendon dalam (RTP).
g.
Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital,
fotofobia.
h.
Pernapasan
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea,
edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
i.
Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat
yang berlebihan, alergi terhadap iodium
(mungkin digunakan saat pemeriksaan).
Tanda : suhu meningkat di
atas 37,4ºC, diaforesis kulit halus, hangat dan kemerahan
Eksotalus: retraksi,
iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi
pada pretibial) yag menjadi sagat parah.
j.
Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorea,
amenorea dan impoten.
3.2 diagnosa keperawatan
Setelah melakukan pengkajian baik dari
riwayat dan pemeriksaan kesehatan (data subjektif, data objektif, pemeriksaan
diagnostik dan dasar data pengkajian), maka dapat dilakuakan diagnosa
keperawatan antara lain :
1) Nyeri
berhubungan dengan proses inflamasi
2) Hipertermi
berhubungan dengan proses inflamasi
3)
Perubahan nutirsi kurang dari keb.tubuh
berhubungan dengan proses penyakit
3.3 intervensi
Dari diagnosa keperawatan yang telah diambil maka dapat melakukan
intervensi atau merencanakan tindakan keperawatan selanjutnya berdasarkan
tujuan dan kriteria hasil diagnosa secara rasional.
1.
Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri.
Untuk mendapatkan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
Nyeri dapat berkurang,skala 0-2,tidak ada tanda-tanda kesakitan.
Intervensi
|
Rasional
|
-
Kaji lokasi dan
skala nyeri
-
Ajarkan manajemen
nyeri , teknik napas dalam,& imajinasi
-
Pantau kondisi
pasien tiap 2 jam
-
Kolaburasi untuk
pemberian analgetik
|
-
Untuk
mengetahui lokasi dan berapa skala
-
Untuk mengatasi rasa
nyeri yang dialami,
-
Untuk mengetahui
kondisi pasien dan mencegah terjadinya komplikasi yang tidak
diinginkan
-
Dapat membantu
mengurangi rasa nyeri
|
2.
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Menurunkan
suhu kembali normal.
Kriteria Hasil :
Suhu tubuh kembali normal
(36.5-37.5 0 C), tidak ada tanda
dehidrasi dan mukosa bibir menjadi lembab.
Intervensi
|
Rasional
|
-
Berikan
kompres panas pada ketiak
-
Anjurkan klien untuk
menggunakan baju yang dapat menyerap keringat
-
Monitoring
-
Kolaburasi untuk
pemberian obat
|
-
Dapat membantu
proses penurunan panas yang dialami pasien
-
Karena kondisi tubuh
yang lembab memicu pertumbuhan jamur sehingga beresiko menimbulkan komplikasi
-
Sebagai indikator
untuk mengetahui perkembangan hipertermi
-
Membantu
menuunkan suhu tubuh pasien
|
3.
Perubahan nutirsi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan proses penyakit
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil : Mukosa bibir menjadi lemba, porsi makan kembali
normal, berat badan normal,pemeriksaan laboratorium normal dan tidak menunjukan tanda-tanda malnutrisi
Intervensi
|
Rasional
|
-
Awasi pemasukan
diet,berikan makan sedikit tapi sering
-
Berikan perawatan
mulut sebelum makan
-
Anjurkan klien makan
dalam posisi duduk tegak
-
Kolaburasi dengan
tim gizi
|
-
Untuk menghindari
mual dan muntah dan memenuhi keb.nutrisi pasien
-
Untuk menghilangkan
rasa tidak enak
-
Untuk mencegah
tersedak
-
Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
|
3.4 Implementasi
Setelah intervensi yang dibuat berdasarkan
pengkajian, diagnosa keperawatan dengan tujuan dan kriteria hasil diagnosa
secara rasional, maka seorang perawat dapat langsung melakukan tindakan yang
telah di rencakan antara lain :
· Jika
kondisi pasien mengalami nyeri
1)
Mengkaji lokasi dan skala
nyeri untuk mengetahui lokasi dan berapa skla nyeri yg di alami
2)
Mengajarkan
manajemen nyeri, teknik napas dalam dan imajinasi untuk mengatasi nyeri yang di
alami
3)
Memantau kondisi
pasien tiap 2 jam untuk mengetahui kondisi pasien dan mencegah
terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan
4)
Memberikan obat analgetik
dengan berkolaborasi dengan tim medis lainnya untuk membantu mengurangi rasa
nyeri pada pasien
·
Jika kondisi pasien
mengalami hipertemi
1)
Memberikan
kompres panas pada ketiak untuk membantu proses penurunan panas yang
dialami pasien
2)
Menganjurkan pasien
untuk menggunakan baju yang dapat menyerap keringat karena kondisi tubuh yang
lembab memicu pertumbuhan jamur sehingga beresiko menimbulkan komplikasi
3)
Memonitoring v/s sebagai
indicator untuk mengetahui perkembangan hipertermi
4)
Memberikan obat dengan
berkolaborasi dengan tim medis lainnya untuk membantu menuunkan suhu
tubuh pasien
·
Jika kondisi pasien
mengalami perubahan nutirsi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan proses penyakit tersebut :
1)
Mengawasi pemasukan
diet dengan memberikan makanan sedikit tapi sering untuk menghindari mual dan
muntah dan memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
2)
Memberikan perawatan
mulut sebelum makan untuk menghilangkan rasa tidak enak
3)
Menganjurkan pasien makan
dalam posisi duduk tegak untuk mencegah agar tidak tersedak saat pasien makan
4)
Memberikan obat dengan
berkolaborasi dengan tim ahli gizi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
3.5 Evaluasi
Hasil
yang diharapkan :
Dx 1:
·
Nyeri berkurang berkisar antara skala 0-2
·
Tidak ada tanda-tanda kesakitan
Dx 2:
·
Suhu tubuh normal
(36.5-37.5 0 C)
·
Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi
Dx 3:
·
Mukosa bibir menjadi
lembab
·
Porsi makan kembali
normal
·
Berat badan menjadi
normal kembali
·
Pemeriksaan lab.normal
dan tidak menunjukan tanda-tanda malnutrisi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tiroiditis
merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya
inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak
dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis dapat dibagi
berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis
dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid
Tiroiditis adalah suatu peradangan
pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme sementara yang seringkali
diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak terjadi perubahan
dalam fungsi tiroid.
Tiroiditis merupakan inflamasi
kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut atau kronis.
Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau
implemantasi limfotik pada kelenjar tiroid.
Penyebab dari penyakit
tiroid autoimun masih belum diketahui. Banyak ahli berpikir bahwa virus atau
bakteri memicu berkembangnya penyakit ini. Faktor genetika juga dituduh sebagai
penyebab tiroiditis Hashimoto. Orang yang memiliki riwayat keluarga diabetes
tipe 1 atau penyakit celiac cenderung mengembangkan tiroiditis Hashimoto. Ada
berbagai faktor lainnya seperti umur dan jenis kelamin yang mampu memperbesar risiko
Penyakit tiroid autoimun
(PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi
antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali
respon autoimun terhadap antigen tiroid. Walaupun
etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data
epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis
PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan
perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja
secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized
T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel
tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi
terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator
atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak
sebagai autoantigen.
4.2
Saran
Berdasarkan
apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai salah satu tenaga kesehatan
yaitu seorang perawat diharapkan dapat memahami terjadinya proses perjalanan
timbulnya penyakit tiroid hashimoto baik dari etiologi maupun patofiologi dalam
patoflow serta bagaimana mengdiagnosis tiroid hashimoto dan bagaimana
penanganannya sehingga diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus ini kita
dapat memberikan penanganan yang tepat pada penderita berdasarkan ilmu asuhan
keperawatan yang telah kita pelajari
DAFTAR PUSTAKA
1.
Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FKUI.
2.
Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease susceptibility genes :
from gene mapping to gene function. Endocrine Rev.2003;24(5):694-717.
3.
Chen HI, Akpolat I, et al. Restricted κ/λ ight chain ratio by flow cytometry in
germinal center b cells in hashimoto thyroiditis. Am J Clin Pathol.
2006;125:42-48
4.
Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in Hashimoto’ s
disease (lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820-821.
5.
Hashimoto’s Thyroiditis. www.thyroidawareness.com
8. www. nejm/Chronic Autoimmune Thyroiditis.com
11. www. medicalencyclopedia/Chronic Thyroiditis.com